Cerita Inspiratif: Sebuah Pelajaran Hidup dari Concord
Sebuah Pelajaran Hidup dari
Concord
Oleh: Berlian Evangeline
Di sebuah rumah sederhana yang
terletak di Concord, Massachusetts, Amerika Serikat terdapat sebuah keluarga
yang terdiri dari Mr. Potts, Mrs. Potts, dan anak-anaknya, yaitu Maria, Jade, Helena,
dan Aisy.
“Hai, kalian
hendak kemana?” tanya Aisy, si bungsu ketika ia memasuki kamar mereka pada
Sabtu sore, dan mendapati Maria dan Jade sedang bersiap hendak pergi.
Jade tidak
menjawab pertanyaannya, dan Ia berpaling kepada Maria yang tidak pernah berlama-lama
menolaknya. Kepada Maria, Aisy merajuk, “Ceritakanlah kepadaku, Maria! Kau
seharusnya mengajakku juga. Helena sedang sibuk bersama boneka-bonekanya dan
tak ada apapun yang harus kukerjakan. Aku benar-benar kesepian.”
“Tidak bisa,
Manis, karena kau tidak diundang,” kata Maria.
Jade, yang tidak
sabar, langsung memotong, “Aisy, kau tidak bisa pergi. Berhenti bersikap
seperti bayi, dan berhenti merengek.”
Aisy tahu bahwa saudari-saudarinya
itu akan pergi dengan Alex, cucu Mr. Laurence, tetangga mereka yang kaya raya
itu karena kemarin malam mereka saling berbisik dan tertawa bersama-sama di
sofa, dan ketika ia masuk mereka langsung diam.
“Aku tahu! Aku
tahu! Kalian akan pergi dengan Alex ke suatu tempat. Kemarin malam kalian
saling berbisik dan tertawa bersama-sama di sofa, dan ketika aku masuk kalian
langsung diam. Betul begitu kan?”
“Ya, kami akan
pergi dengan Alex. Sekarang diam dan berhenti mengganggu.”
Aisy menahan
lidahnya, namun matanya awas, ia melihat maria menyelipkan kipas kecil ke dalam
sakunya.
“Kalian pasti
akan pergi ke teater! Dan aku akan pergi, karena Ibu berkata aku boleh
menonton, dan aku punya uang saku.” seru Aisy.
“Dengarkan aku,
Ibu tidak ingin kau pergi karena kau masih flu. Pekan depan kau bisa pergi
bersama Helena, dan bersenang-senang.” kata Maria menenangkan Aisy.
“Tidak akan
seseru pergi bersamamu dan Alex. Biarkan aku ikut, sudah lama aku menderita flu
ini, dan terpaksa diam saja di rumah. Ayolah, Maria! Aku akan bersikap baik,”
Aisy memohon, menampilkan ekspresi mengibakannya yang terbaik.
“Mungkin kita
bisa mengajaknya. Kuyakin Ibu tidak akan keberatan, asalkan kita membuatnya
tetap hangat,” ujar Maria kepada Jade.
“Kupikir,
harusnya Aisy merasa malu memaksa ikut padahal dia tidak diundang,” kata Jade
dengan kesal, karena ia tidak suka harus repot-repot mengawasi anak kecil yang
banyak tingkah disaat ia sendiri ingin menikmati harinya.
Nada dan sikap Jade membuat Aisy
marah. Aisy, yang sudah berapi-api, berkata dengan nada paling menjengkelkan,
“Aku akan pergi! Maria bilang aku boleh ikut! Dan jika aku membayar sendiri,
Alex tidak punya hak untuk melarangku!”
“Kau tidak bisa
duduk bersama kami, karena kursi-kursi kami telah dipesan, tetapi kau juga
tidak boleh duduk sendiri. Jadi, Alex akan memberikan tempatnya kepadamu. Atau,
ia akan membelikan satu tempat duduk lagi untukmu, dan hal itu tidak sopan,
karena kau tidak diundang.” Jade mengomel.
Aisy mulai
menangis. Maria mencoba membujuknya ketika Alex berseru memanggil mereka dari
ruang bawah. Dua orang gadis itu tergesa-gesa turun, meninggalkan adik mereka
yang menangis memelas. Memang kadang-kadang Aisy lupa bersikap layaknya seorang
gadis yang beranjak dewasa dan malah bertingkah seperti bocah manja.
Ketika ketiga remaja itu berjalan
keluar, Aisy muncul di birai tangga dan berseru dengan nada mengancam, “Kau
akan menyesal, Jade Potts! Lihat saja nanti!”
“Omong kosong!”
Jade membalas sambil membanting pintu.
Ketiganya
menikmati saat-saat menyenangkan. Sambil menonton adegan demi adegan, pikiran
Jade melayang-layang memikirkan apa yang akan dilakukan Aisy untuk membuatnya
“menyesal”.
Ia dan Aisy
memang sering bertengkar. Aisy manja dan suka mengolok-olok Jade, dan Jade
tidak menyukainya. Meskipun usianya lebih tua, kendali diri Jade justru lebih
lemah. Ia sering kesulitan menahan gejolak jiwanya yang berapi-api, yang kerap
membuatnya mendapat kesulitan, tetapi Jade adalah anak yang baik. Ia selalu
mengakui kesalahannya dengan tulus, dan berusaha untuk bersikap lebih baik.
Setibanya di rumah, Jade dan Maria
menemukan Aisy yang sedang membaca buku di sofa. Ia menampilkan sikap seseorang
yang sakit hati, matanya tidak lepas dari buku yang dipegangnya, dan Ia tidak
mengajukan satu pun pertanyaan tentang pertunjukan di teater tadi.
Kemudian Jade
pergi ke atas untuk menyimpan topi yang dipakainya tadi. Begitu masuk kamar,
mata Jade segera terarah ke lemarinya. Dalam pertengkaran Jade dan Aisy yang
terakhir, Aisy memberantakan lemari Jade dan membuang isinya ke lantai, tetapi,
kali ini, semua barang ada di tempatnya. Jade cepat-cepat memeriksa semua
barang di kamarnya, Jade menyimpulkan bahwa Aisy telah memaafkan dan melupakan
sifat kasarnya.
Ternyata, dugaan Jade keliru.
Keesokan harinya, ia menyadari sesuatu, sesuatu yang membuat keributan. Sore
itu, Maria dan Helena sedang duduk-duduk ketika Jade menghambur masuk ke dalam
ruangan. Ia tampak gusar, kesal, dan nafasnya terengah-engah.
“Adakah yang
mengambil buku ceritaku?” tanya Jade.
Maria dan Helena
langsung berkata “Tidak,” dengan wajah kaget, sementara Aisy mengorek-orek
perapian tanpa mengatakan apapun. Jade langsung berjalan cepat mendatangi
adiknya itu.
“Aisy, kau yang
mengambilnya!”
“Tidak.”
“Bohong!”
“Aku tidak tahu.
Benda itu tidak ada padaku, aku tidak tahu ada dimana, dan aku tidak peduli!”
“Kau pasti tahu
sesuatu, dan sebaiknya kau segera mengaku!” sergah Jade sambil sedikit
mengguncang bahu adiknya.
“Silahkan marahi
aku sesukamu, Jade! Kau tidak akan mendapatkan buku cerita konyolmu itu lagi!”
seru Aisy.
“Kenapa tidak?”
“Aku
membakarnya.”
Jade marah besar. Ia mengatai bahwa
adiknya adalah anak yang jahat, kejam, dan ia tidak akan memaafkan Aisy.
Buku Jade adalah
kebanggan bagi anak itu. Meskipun tulisan di dalamnya hanya berjumlah selusin
dongeng, namun Jade mengerjakan setiap cerita dengan tekun dan penuh dengan
kehati-hatian. Jade berharap agar buku itu menghasilkan sesuatu yang cukup
layak untuk diterbitkan, sehingga ia dapat menunjukkannya kepada ayahnya saat
pulang dari peperangan nanti.
Mrs. Potts tiba
di rumah. Setelah mendengar seluruh kejadian itu, Mrs. Potts segera menunjukkan
kepada Aisy kesalahan yang telah ia perbuat terhadap kakaknya. Aisy segera
meminta maaf kepada Jade, tetapi Jade tidak menerima permintaan maafnya.
Keesokan
harinya, Jade mengajak Alex untuk bermain skat, karena Alex selalu baik dan
ceria, dan Jade yakin itu akan membuatnya merasa lebih baik. Sementara itu,
Aisy melihat mereka bermain skat dengan ceria dan semakin menjauh.
“Pergilah
kesana, jangan katakana apapun sampai Jade sudah tampak santai bersama Alex. Setelah
itu, ambil kesempatan dan minta maaflah kepada kakakmu.” kata Maria.
“Akan kucoba.”
Tanpa diduga, saat Aisy mengejar
Jade dan Alex, ia terjatuh dan Jade langsung menolongnya dan Jade merawat
adiknya itu dengan baik.
Setelah Aisy
tertidur dengan tenang dan suasana rumah sepi, Mrs. Potts yang duduk di dekat
tempat tidur memanggil Jade untuk mengobati lukanya saat menolong Aisy tadi.
“Apakah Ibu
yakin ia aman?” bisik Jade, sambil memandang kepala rambut keemasan adiknya.
“Cukup aman,
Sayang. Kau sangat pintar telah membalutkan mantelmu padanya dan membawanya
pulang secepat mungkin,” jawab ibunya dengan ceria.
Jade mengakui kesalahannya kepada
ibunya. Ia menangis karena ia tidak dapat mengontrol emosinya sehingga Ia
selalu bertengkar dengan adiknya.
“Anakku,
kesalahan dan godaan dalam hidupmu baru dimulai, dan akan banyak lagi yang
datang. Tetapi, kau bisa mengatasi dan mengalahkan semua itu jika kau belajar
merasakan kekuatan dan kelembutan Bapa di Surga. Cinta dan kasih sayang-Nya
tidak akan surut atau berubah, dan akan dapat menjadi sumber kedamaian,
kebahagiaan, dan kekuatan sepanjang hidupmu. Yakinlah akan hal ini sepenuh
hati, dan utarakan kepada Tuhan semua kekhawatiran, harapan, dosa, dan
kesedihanmu, sebebas dan seterbuka engkau kepada ibumu.” tutur Mrs. Potts yang
dijawab dengan pelukan erat Jade.
Komentar
Posting Komentar